Thursday, May 2, 2013

Jurnal Implementasi Pendidikan Moral Dalam Proses Pembelajaran Di Sekolah


Implementasi Pendidikan Moral Dalam Proses Pembelajaran Di Sekolah

Nur Baity
NIM 110210103006
Kelas A

ABSTRAK
Kerusakan moral pada peserta didik disebabkan oleh kurangnya pendidikan nilai-nilai moralitas pada peserta didik. Pendidikan moral dapat menjadi solusi dari permasalahan ini. Dengan adanya Pendidikan moral, diharapkan manusia (peserta didik) dapat menerapkan nilai-nilai moral atau sopan santun, norma-norma serta etika yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai bentuk tanggung jawab dari pendidikan di sekolah, maka bagaimana mengimplementasikan pendidikan moral ini dalam proses pembelajaran. Tulisan ini akan mencoba memberikan pemikiran yang berkaitan dengan persoalan tersebut.

Kata Kunci: implementasi, pendidikan moral, proses pembelajaran

Pendahuluan
Pendidikan adalah sebuah proses untuk mengubah jati diri seorang peserta didik untuk lebih maju. Nilai-nilai pendidikan sendiri adalah suatu makna dan ukuran yang tepat dan akurat untuk mempengaruhi adanya pendidikan itu sendiri. Seperti telah kita ketahui bahwa nilai-nilai pendidikan sekarang ini mengalami penurunan, hal ini dibuktikan dengan perilaku peserta didik dewasa ini cenderung melupakan norma, aturan, tata krama terlebih moralitas yang kurang baik yang disebabkan kurangnya pendidikan nilai-nilai moralitas di bangku sekolah.
Kita seringkali menyaksikan di banyak media massa, elektronik dan cetak, fenomena tingkah laku amoral peserta didik dari tingkat SMP sampai SMA yang semakin hari semakin meningkat, dari tindakan amoral yang paling ringan, seperti: membohong, menipu, perilaku menyontek di sekolah, tidak menaati peraturan, mélanggar norma, mencaci maki, dll., sampai pada tingkat yang paling menghawatirkan, mencemaskan dan meresahkan orang tua dan masyarakat, bahkan mengganggu ketertiban umum, kenyamanan, ketenteraman, dan kesejahteraan, serta merusak fasilitas umum, seperti: mencuri, menodong/merampok, menjambret, memukul, tawuran pelajar, tindak kekerasan, criminal, demonstrasi yang anargis, mabuk, dan bahkan sampai membunuh, serta mutilasi. Selain itu, banyak juga di kalangan peserta didik yang sudah mulai menggunakan obat-obatan terlarang seperti narkoba. Pendek kata perilaku amoral ini mengancam keselamatan fisik dan jiwa diri mereka dan orang lain.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka diperlukan suatu tindakan sedini mungkin. Dalam hal ini, pendidikan moral dapat menjadi solusi dari permaslahan ini. Pendidikan moral dapat ditanamkan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan moral dalam keluarga dapat diberikan oleh orang tua, namun pendidikan moral di keluarga saja tidak cukup. Oleh karena itu, sekolah dapat menjadi tempat dalam menanamkan pendidikan moral ini. Guru dapat mengajarkan pendidikan moral ini saat proses pembelajaran. Hal ini ditujukan agar siswa selain mendapatkan pengetahuan akademik juga mendapatkan pengetahuan moral yang baik.
Pendidikan moral perlu menjadi prioritas dalam kehidupan. Adanya panutan nilai, moral, dan norma dalam diri manusia dan kehidupan akan sangat menentukan totalitas diri individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial, dan kehidupan individu.
Pendidikan moral secara kependidikan diperlukan bukan hanya substansi yang semata-mata diajarkan, tetapi lebih mendasar sebagai interaksi sosial budaya dan edukatif antara siswa dengan seluruh unsur pendidikan yang ada di sekolah dan masyarakat, yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya serta terwujudnya individu yang bermoral baik.
            Mengacu pada kondisi tersebut, maka permasalahan yang berkaitan dengan hal tersebut dirumuskan sebagai berikut. Apa yang di maksud dengan pendidikan moral? Bagaimana implementasi pendidikan moral pada proses pembelajaran?
           
Pengertian Pendidikan Moral
Pendidikan didefinisikan sebagai humanisasi (upaya memanusiakan manusia), yaitu suatu upaya dalam rangka membantu manusia (peserta didik) agar mampu hidup sesuai dengan martabat kemanusiaannya (Wahyudin, 2009: 1.29). Artinya, bahwa pendidikan menjadi usaha untuk membuat manusia (peserta didik) menjadi seseorang yang lebih baik, bermartabat, bermoral dan berbudi pekerti yang baik bukan malah sebaliknya. Pendidikan menjadi sarana untuk mengubah perilaku manusia menjadi lebih baik. Pendidikan didapatkan dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan yang pertama kali diberikan adalah dari lingkungan keluarga kemudian sekolah dan masyarakat.
Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. (Massofa, 2008 [on line]).
K. Bertens, mengungkapkan bahwa moral itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Makna yang hampir sama untuk kata moral juga ditampilkan oleh Lorens Bagus, mengungkapkan antara lain, menyangkut kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik/buruk, benar/salah, tepat/tidak tepat,  atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain (Mansur, 2006).
Dari definisi diungkap di atas tercermin, bahwa kata moral itu, paling tidak  memuat dua hal yang amat pokok yakni, 1) sebagai cara seseorang atau kelompok bertingkah laku dengan orang atau kelompok lain, 2) adanya norma-norma atau nilai-nilai yang menjadi dasar bagi cara bertingkah laku tersebut (Mansur, 2006).
Pendidikan moral mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan, dan perilaku yang baik, jujur, dan penyayang dapat dinyatakan dengan istilah bermoral. Tujuan utama pendidikan moral adalah menghasilkan individu yang otonom, yang memahami nilai-nilai moral dan memiliki komitmen untuk bertindak konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Pendidikan moral mengandung beberapa komponen, yaitu pengetahuan tentang moralitas, penalaran moral, perasaan kasihan dan memerhatikan kepentingan orang lain, serta tendensi moral (Zuchdi, 2010:43).
Dari penjelasan di atas, dapat diartikan bahwa pendidikan moral adalah suatu upaya dalam rangka membantu manusia (peserta didik) untuk  menanamkan nilai-nilai moral atau sopan santun,  norma-norma serta etika yang baik dalam kehidupan sehari-hari sehingga terbentuk individu yang otonom, yang memahami nilai-nilai moral dan memiliki komitmen untuk bertindak secara konsisten. Pendidikan moral biasanya diberikan dalam lingkungan keluarga yang diajarkan dari orang tua sampai anggota keluarga lainnya. Selain itu, pendidikan moral ini dapat diberikan saat di sekolah melalui kegiatan pembelajaran atau kegiatan ekstakurikuler. Selain dalam keluarga dan sekolah, pendidikan moral juga didapatkan dari lingkungan masyarakat seperti kegiatan pengajian, sukarelawan bencana alam, dan lain-lain.

Implementasi Pendidikan Moral dalam Proses Pembelajaran
            Pendidikan moral berdasarkan teori perkembangan moral oleh Kohlberg disebut pendekatan kognitif. Peran guru dalam hal ini ada dua macam, yaitu (1) menciptakan konflik negatif, dan (2) merangsang perspektif sosial murid-murid. Dua prinsip ini secara langsung diambil dari teori Kohlberg. Dalam mengajar, guru perlu mengatur kegiatan belajar dalam suatu pola interaksi sosial. Langkah-langkah pedagogis yang harus dilakukan untuk menumbuhkan penalaran moral, seni bertanya, dan menciptakan suasana kelas yang kondusif untuk perkembangan moral (Reimer, Paolitto, dan Hersh, dalam Zuchdi, 2010: 58).
Peranan guru, walaupun sangat terbatas, adalah penting sekali. Guru bertugas memimpin kelas. Tugasnya yang paling utama ialah untuk melipatgandakan keadaan-keadaan di mana perluasan gagasan-gagasan dan sentiment-sentimen bersama dapat berlangsung secara bebas, untuk menghasilkan buah-buah positif, untuk mengkoordinasi mereka, dan memberikan mereka bentuk yang stabil (Durkheim, 1990: 176).
Dalam hal ini, peran guru sangat penting dalam penerapan pendidikan moral saat proses pembelajaran dimana guru menjadi kunci pokok yang utama. Hal-hal yang diajarkan oleh guru, akan menjadi panutan bagi siswanya. Saat guru mengajarkan hal-hal yang baik maka akan menghasilkan output yang baik pula, begitu juga sebaliknya. Perbuatan guru pun akan menjadi panutan bagi peserta didiknya. Apabila perbuatan guru tersebut baik maka siswa akan menirunya, begitu pula sebaliknya. Namun, jika perbuatan buruk yang ditiru oleh siswa maka itu akan sangat berdampak buruk bagi siswa tersebut. Oleh karena itu, guru harus menjadi teladan yang baik bagi peserta didiknya agar dapat mewujudkan peserta didik yang bermoral baik.
Menurut Lickona (dalam Zuchdi, 2010: 58) mengenai perilaku guru menyatakan bahwa guru dalam mengajar di kelas harus berfungsi sebagai pengasuh, model (pemberi teladan), dan mentor. Sebagai pengasuh, guru harus bisa mencintai dan menghargai murid-murid, menolong mereka agar berhasil di sekolah, mengembangkan kesadaran akan harga diri mereka, dan memperlakukan murid-muridnya secara bermoral sehingga mereka dapat mengalami apa yang dimaksud dengan moralitas. Guru juga harus menjadi model atau teladan sebagai orang yang beretika, yang menunjukkan dalam perilakunya rasa hormat dan tanggung jawab yang tinggi baik didalam maupun diluar kelas. Guru juga dapat memberi teladan dengan memberikan perhatian pada moralitas dan melakukan penalaran moral melalui reaksi-reaksinya terhadap kejadian-kejadian yang secara moral bermakna dalam kehidupan sekolah dan kehidupan secara luas. Sebagai mentor, guru menyelenggarakan pembelajaran dan bimbingan melaui penjelasan, diskusi kelas, bercerita, pemberian dorongan, dan memberikan respons yang berupa koreksi jika murid-murid melukai perasaan teman-teman mereka atau perasaan guru.
            Dalam proses belajar mengajar di kelas, guru tidak hanya mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan namun guru dapat menyisipkan pelajaran nilai-nilai moral kepada siswa agar bukan pengetahuan akademik saja yang didapatkan tetapi juga pengetahuan nilai-nilai moral. Dapat diartikan bahwa guru tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik. Mendidik disini berarti bahwa guru mengajarkan nilai-nilai moral, sopan santun, etika yang baik kepada siswa. Guru tidak sekedar menyampaikan konten pelajaran yang lebih mengedepankan aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik yang diwujudkan dalam sebuah proses dan aplikasi. Dalam  praktek  pembelajaran, guru tidak  monoton  dilakukan dalam bentuk ceramah saja, melainkan lebih mengutamakan kepada peneladanan diri dan pelatihan pembentukan karakter . Hal ini dimaksudkan agar pada saat di lingkungan dalam maupun luar sekolah siswa dapat berperilaku yang baik yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku di sekolah maupun di luar sekolah. Selain itu, guru juga dapat menjadi fasilitator bagi siswa yang ingin mencurahkan masalahnya.
Beberapa contoh penanaman nilai moral dalam proses pembelajaran IPA misalnya, dalam mata pelajaran Biologi, guru tidak hanya memberikan hafalan mengenai anatomi tubuh, tetapi juga mengajarkan bagaimana cara menghargai tubuh. Jika tubuh ini adalah sesuatu yang berharga, wujud penghargaan tersebut adalah dengan tidak menindiknya, mentatonya, melukainya, mengonsumsi narkoba dan alkohol, serta tidak melakukan seks bebas. Dalam mata pelajaran fisika misalnya, ketika melihat kestabilan alam semesta dengan hukum-hukum yang berkaitan dengannya, peserta didik tidak hanya diajarkan mengenai rumus-rumus, tetapi juga diajarkan untuk melihat dirinya sebagai komponen alam semesta ini, bahwa ia adalah sebuah makhluk yang sangat kecil di alam ini, sehingga tidaklah pantas seorang manusia memiliki sifat sombong. Dalam mata pelajaran Kimia, kita mengenal berbagai unsur kimia penyusun alam semesta, peserta didik dapat diajarkan untuk memaknai keselarasan dan keseimbangan unsur-unsur tersebut serta bagaimana menjaga keseimbangan komposisinya di alam yang bisa menambah rasa syukur dan kagum atas ciptaan Tuhan. Dalam kegiatan praktikum, ketika siswa dihadapkan pada sebuah penelitian ilmiah, siswa dituntut untuk berpikir kritis dalam sebuah proses yang panjang dan objektif terhadap apa pun hasil dari penelitian tersebut, nilai-nilai kesetiakawanan dan kerja sama pun dilatih dalam bentuk kerja kelompok.
Contoh-contoh tersebut dapat diterapkan dalam mata pelajaran yang lain bukan hanya mata pelajaran IPA saja, sehingga dalam proses pembelajaran guru tidak hanya memberikan pengetahuan tentang mata pelajaran saja namun sekaligus menanamkan nilai-nilai moral pada peserta didik tersebut.
Pengembangan pemikiran moral perlu disertai dengan pengembangan komponen afektif. Dalam proses perkembangan moral, kedua komponen tersebut, yaitu komponen kognitif dan afektif sama pentingnya. Aspek kognitif memungkinkan seseorang dapat menentukan pilihan moral secara tepat, sedangkan aspek afektif menajamkan kepekaan hati nurani, yang memberikan dorongan untuk melakukan tindakan bermoral (Zuchdi, 2010:8).
Dengan menggunakan aspek kognitif, seseorang dapat berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak dan dengan aspek afektif seseorang dapat menentukan perbuatan yang baik dan buruk. Jadi, kedua aspek ini sangat penting dalam menentukan sebuah tindakan agar tindakan yang diambil adalah sebuah keputusan yang tepat. Aspek afektif dapat ditanamkan dengan meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa maka kita akan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, kita dapat memilih hal yang baik dan yang buruk dalam bertindak.
Sebagai contoh pentingnya karakter seseorang yang dilandasi dengan moralitas (aspek afektif) daripada hanya sekedar pintar (aspek kognitif) tapi tidak terpuji seperti halnya orang bersepeda. Seseorang akan menilai orang lain pandai bersepeda apabila orang tersebut mempunyai pengetahuan tentang bersepeda dan dapat mempraktekkannya. Artinya, ketika ia disuruh untuk bersepeda, ia bisa mengendarainya dengan baik dan tidak terjatuh, bukan dinilai pintarnya dia menguasai teori bersepeda, akan tetapi dia tidak bisa mengendarainya dan akhirnya terjatuh. Demikian  pula  seseorang  akan  lebih  menghargai  orang  lain  dalam  hal  sikap  dan perilakunya  yang  terpuji  walaupun  tidak  terlalu  pintar  daripada  orang  pintar  akan tetapi sikap dan perilakunya  tidak baik.  Ini menunjukkan betapa penting sikap dan perlaku terpuji di hadapan manusia, terlebih di hadapan Tuhan. 
Oleh karena pentingnya pendidikan moral ini, maka guru harus dapat mengimplementasikannya dalam proses pembelajaran di Sekolah. Guru sebagai pendidik harus dapat menanamkan nilai-nilai moral kepada siswa agar terbentuk moral-moral yang baik pada siswa tersebut. Hal ini diharapkan agar siswa tidak hanya menguasai aspek kognitif namun aspek afektif dan psikomotorik yang diwujudkan dalam sebuah proses dan aplikasi.

Kesimpulan
Pendidikan moral adalah suatu upaya dalam rangka membantu manusia (peserta didik) untuk  menanamkan nilai-nilai moral atau sopan santun,  norma-norma serta etika yang baik dalam kehidupan sehari-hari sehingga terbentuk individu yang otonom, yang memahami nilai-nilai moral dan memiliki komitmen untuk bertindak secara konsisten.
Implementasi pendidikan moral dalam proses pembelajaran dapat dilakukan dengan cara, guru tidak hanya mengajar namun juga mendidik artinya guru tidak hanya mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan namun guru dapat mendidik siswa melalui pelajaran nilai-nilai moral agar bukan pengetahuan akademik saja yang didapatkan tetapi juga pengetahuan nilai-nilai moral. Dengan demikian, guru tidak sekedar menyampaikan konten pelajaran yang lebih mengedepankan aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik yang diwujudkan dalam sebuah proses dan aplikasi.

Daftar Pustaka
Durkheim, Emile. 1990. Pendidikan Moral. Jakarta: Erlangga.
Mansur, Amril. 2006. Implementasi Klarifikasi Nilai Dalam Pembelajaran dan Fungsionalisasi Etika Islam. Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2006: 65-66.
Massofa. 2008. Pengertian Etika, Moral, Etiket. http://massofa.wordpress.com/ 2008/11/17/pengertian-etika-moral-dan-etiket/. [29 Mei 2012].
Wahyudin, Dinn, dkk. 2009. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Zuchdi, Darmiyati. 2010. Humanisasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.