Implementasi
Pendidikan Moral Dalam Proses Pembelajaran Di Sekolah
Nur Baity
NIM 110210103006
Kelas A
ABSTRAK
Kerusakan
moral pada peserta didik disebabkan oleh kurangnya pendidikan nilai-nilai
moralitas pada peserta didik. Pendidikan moral dapat menjadi solusi dari
permasalahan ini. Dengan adanya Pendidikan moral, diharapkan manusia (peserta
didik) dapat menerapkan nilai-nilai moral atau sopan santun, norma-norma serta
etika yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai bentuk tanggung jawab dari
pendidikan di sekolah, maka bagaimana mengimplementasikan pendidikan moral ini
dalam proses pembelajaran. Tulisan ini akan mencoba memberikan pemikiran yang
berkaitan dengan persoalan tersebut.
Kata Kunci:
implementasi, pendidikan moral, proses pembelajaran
Pendahuluan
Pendidikan adalah
sebuah proses untuk mengubah jati diri seorang peserta didik untuk lebih maju.
Nilai-nilai pendidikan sendiri adalah suatu makna dan ukuran yang tepat dan
akurat untuk mempengaruhi adanya pendidikan itu sendiri. Seperti telah kita
ketahui bahwa nilai-nilai pendidikan sekarang ini mengalami penurunan, hal ini
dibuktikan dengan perilaku peserta didik dewasa ini cenderung melupakan norma,
aturan, tata krama terlebih moralitas yang kurang baik yang disebabkan
kurangnya pendidikan nilai-nilai moralitas di bangku sekolah.
Kita seringkali
menyaksikan di banyak media massa, elektronik dan cetak, fenomena tingkah laku
amoral peserta didik dari tingkat SMP sampai SMA yang semakin hari semakin
meningkat, dari tindakan amoral yang paling ringan, seperti: membohong, menipu,
perilaku menyontek di sekolah, tidak menaati peraturan, mélanggar norma,
mencaci maki, dll., sampai pada tingkat yang paling menghawatirkan, mencemaskan
dan meresahkan orang tua dan masyarakat, bahkan mengganggu ketertiban umum,
kenyamanan, ketenteraman, dan kesejahteraan, serta merusak fasilitas umum,
seperti: mencuri, menodong/merampok, menjambret, memukul, tawuran pelajar,
tindak kekerasan, criminal, demonstrasi yang anargis, mabuk, dan bahkan sampai
membunuh, serta mutilasi. Selain itu, banyak juga di kalangan peserta didik
yang sudah mulai menggunakan obat-obatan terlarang seperti narkoba. Pendek kata
perilaku amoral ini mengancam keselamatan fisik dan jiwa diri mereka dan orang
lain.
Untuk mengatasi hal
tersebut, maka diperlukan suatu tindakan sedini mungkin. Dalam hal ini,
pendidikan moral dapat menjadi solusi dari permaslahan ini. Pendidikan moral
dapat ditanamkan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan moral dalam
keluarga dapat diberikan oleh orang tua, namun pendidikan moral di keluarga
saja tidak cukup. Oleh karena itu, sekolah dapat menjadi tempat dalam
menanamkan pendidikan moral ini. Guru dapat mengajarkan pendidikan moral ini
saat proses pembelajaran. Hal ini ditujukan agar siswa selain mendapatkan pengetahuan
akademik juga mendapatkan pengetahuan moral yang baik.
Pendidikan moral perlu
menjadi prioritas dalam kehidupan. Adanya panutan nilai, moral, dan norma dalam
diri manusia dan kehidupan akan sangat menentukan totalitas diri individu atau
jati diri manusia, lingkungan sosial, dan kehidupan individu.
Pendidikan moral secara
kependidikan diperlukan bukan hanya substansi yang semata-mata diajarkan,
tetapi lebih mendasar sebagai interaksi sosial budaya dan edukatif antara siswa
dengan seluruh unsur pendidikan yang ada di sekolah dan masyarakat, yang
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya serta terwujudnya individu yang bermoral
baik.
Mengacu
pada kondisi tersebut, maka permasalahan yang berkaitan dengan hal tersebut
dirumuskan sebagai berikut. Apa yang di maksud dengan pendidikan moral? Bagaimana
implementasi pendidikan moral pada proses pembelajaran?
Pengertian
Pendidikan Moral
Pendidikan
didefinisikan sebagai humanisasi (upaya memanusiakan manusia), yaitu suatu
upaya dalam rangka membantu manusia (peserta didik) agar mampu hidup sesuai
dengan martabat kemanusiaannya (Wahyudin, 2009: 1.29). Artinya, bahwa
pendidikan menjadi usaha untuk membuat manusia (peserta didik) menjadi
seseorang yang lebih baik, bermartabat, bermoral dan berbudi pekerti yang baik
bukan malah sebaliknya. Pendidikan menjadi sarana untuk mengubah perilaku
manusia menjadi lebih baik. Pendidikan didapatkan dari lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat. Pendidikan yang pertama kali diberikan adalah dari
lingkungan keluarga kemudian sekolah dan masyarakat.
Istilah Moral berasal
dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk
jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu
kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara
etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut
sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti
kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah
nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. (Massofa, 2008 [on line]).
K. Bertens, mengungkapkan
bahwa moral itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Makna yang hampir sama
untuk kata moral juga ditampilkan oleh Lorens Bagus, mengungkapkan antara lain,
menyangkut kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik/buruk,
benar/salah, tepat/tidak tepat, atau
menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain
(Mansur, 2006).
Dari definisi diungkap
di atas tercermin, bahwa kata moral itu, paling tidak memuat dua hal yang amat pokok yakni, 1)
sebagai cara seseorang atau kelompok bertingkah laku dengan orang atau kelompok
lain, 2) adanya norma-norma atau nilai-nilai yang menjadi dasar bagi cara
bertingkah laku tersebut (Mansur, 2006).
Pendidikan moral
mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan, dan perilaku yang baik,
jujur, dan penyayang dapat dinyatakan dengan istilah bermoral. Tujuan utama
pendidikan moral adalah menghasilkan individu yang otonom, yang memahami
nilai-nilai moral dan memiliki komitmen untuk bertindak konsisten dengan
nilai-nilai tersebut. Pendidikan moral mengandung beberapa komponen, yaitu
pengetahuan tentang moralitas, penalaran moral, perasaan kasihan dan
memerhatikan kepentingan orang lain, serta tendensi moral (Zuchdi, 2010:43).
Dari penjelasan di atas,
dapat diartikan bahwa pendidikan moral adalah suatu upaya dalam rangka membantu
manusia (peserta didik) untuk menanamkan
nilai-nilai moral atau sopan santun, norma-norma
serta etika yang baik dalam kehidupan sehari-hari sehingga terbentuk individu
yang otonom, yang memahami nilai-nilai moral dan memiliki komitmen untuk
bertindak secara konsisten. Pendidikan moral biasanya diberikan dalam
lingkungan keluarga yang diajarkan dari orang tua sampai anggota keluarga
lainnya. Selain itu, pendidikan moral ini dapat diberikan saat di sekolah
melalui kegiatan pembelajaran atau kegiatan ekstakurikuler. Selain dalam
keluarga dan sekolah, pendidikan moral juga didapatkan dari lingkungan
masyarakat seperti kegiatan pengajian, sukarelawan bencana alam, dan lain-lain.
Implementasi
Pendidikan Moral dalam Proses Pembelajaran
Pendidikan
moral berdasarkan teori perkembangan moral oleh Kohlberg disebut pendekatan
kognitif. Peran guru dalam hal ini ada dua macam, yaitu (1) menciptakan konflik
negatif, dan (2) merangsang perspektif sosial murid-murid. Dua prinsip ini
secara langsung diambil dari teori Kohlberg. Dalam mengajar, guru perlu
mengatur kegiatan belajar dalam suatu pola interaksi sosial. Langkah-langkah
pedagogis yang harus dilakukan untuk menumbuhkan penalaran moral, seni
bertanya, dan menciptakan suasana kelas yang kondusif untuk perkembangan moral
(Reimer, Paolitto, dan Hersh, dalam Zuchdi, 2010: 58).
Peranan guru, walaupun
sangat terbatas, adalah penting sekali. Guru bertugas memimpin kelas. Tugasnya
yang paling utama ialah untuk melipatgandakan keadaan-keadaan di mana perluasan
gagasan-gagasan dan sentiment-sentimen bersama dapat berlangsung secara bebas,
untuk menghasilkan buah-buah positif, untuk mengkoordinasi mereka, dan
memberikan mereka bentuk yang stabil (Durkheim, 1990: 176).
Dalam hal ini, peran
guru sangat penting dalam penerapan pendidikan moral saat proses pembelajaran
dimana guru menjadi kunci pokok yang utama. Hal-hal yang diajarkan oleh guru,
akan menjadi panutan bagi siswanya. Saat guru mengajarkan hal-hal yang baik
maka akan menghasilkan output yang baik pula, begitu juga sebaliknya. Perbuatan
guru pun akan menjadi panutan bagi peserta didiknya. Apabila perbuatan guru
tersebut baik maka siswa akan menirunya, begitu pula sebaliknya. Namun, jika
perbuatan buruk yang ditiru oleh siswa maka itu akan sangat berdampak buruk
bagi siswa tersebut. Oleh karena itu, guru harus menjadi teladan yang baik bagi
peserta didiknya agar dapat mewujudkan peserta didik yang bermoral baik.
Menurut Lickona (dalam Zuchdi,
2010: 58) mengenai perilaku guru menyatakan bahwa guru dalam mengajar di kelas
harus berfungsi sebagai pengasuh, model (pemberi teladan), dan mentor. Sebagai
pengasuh, guru harus bisa mencintai dan menghargai murid-murid, menolong mereka
agar berhasil di sekolah, mengembangkan kesadaran akan harga diri mereka, dan
memperlakukan murid-muridnya secara bermoral sehingga mereka dapat mengalami
apa yang dimaksud dengan moralitas. Guru juga harus menjadi model atau teladan
sebagai orang yang beretika, yang menunjukkan dalam perilakunya rasa hormat dan
tanggung jawab yang tinggi baik didalam maupun diluar kelas. Guru juga dapat
memberi teladan dengan memberikan perhatian pada moralitas dan melakukan
penalaran moral melalui reaksi-reaksinya terhadap kejadian-kejadian yang secara
moral bermakna dalam kehidupan sekolah dan kehidupan secara luas. Sebagai
mentor, guru menyelenggarakan pembelajaran dan bimbingan melaui penjelasan,
diskusi kelas, bercerita, pemberian dorongan, dan memberikan respons yang
berupa koreksi jika murid-murid melukai perasaan teman-teman mereka atau
perasaan guru.
Dalam
proses belajar mengajar di kelas, guru tidak hanya mengajarkan mata pelajaran
yang diajarkan namun guru dapat menyisipkan pelajaran nilai-nilai moral kepada
siswa agar bukan pengetahuan akademik saja yang didapatkan tetapi juga
pengetahuan nilai-nilai moral. Dapat diartikan bahwa guru tidak hanya mengajar
tetapi juga mendidik. Mendidik disini berarti bahwa guru mengajarkan
nilai-nilai moral, sopan santun, etika yang baik kepada siswa. Guru tidak
sekedar menyampaikan konten pelajaran yang lebih mengedepankan aspek kognitif,
tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik yang diwujudkan dalam sebuah proses
dan aplikasi. Dalam praktek pembelajaran, guru tidak monoton
dilakukan dalam bentuk ceramah saja, melainkan lebih mengutamakan kepada
peneladanan diri dan pelatihan pembentukan karakter . Hal ini dimaksudkan agar
pada saat di lingkungan dalam maupun luar sekolah siswa dapat berperilaku yang
baik yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku di sekolah maupun di luar
sekolah. Selain itu, guru juga dapat menjadi fasilitator bagi siswa yang ingin
mencurahkan masalahnya.
Beberapa contoh
penanaman nilai moral dalam proses pembelajaran IPA misalnya, dalam mata
pelajaran Biologi, guru tidak hanya memberikan hafalan mengenai anatomi tubuh,
tetapi juga mengajarkan bagaimana cara menghargai tubuh. Jika tubuh ini adalah
sesuatu yang berharga, wujud penghargaan tersebut adalah dengan tidak
menindiknya, mentatonya, melukainya, mengonsumsi narkoba dan alkohol, serta tidak
melakukan seks bebas. Dalam mata pelajaran fisika misalnya, ketika melihat
kestabilan alam semesta dengan hukum-hukum yang berkaitan dengannya, peserta
didik tidak hanya diajarkan mengenai rumus-rumus, tetapi juga diajarkan untuk
melihat dirinya sebagai komponen alam semesta ini, bahwa ia adalah sebuah
makhluk yang sangat kecil di alam ini, sehingga tidaklah pantas seorang manusia
memiliki sifat sombong. Dalam mata pelajaran Kimia, kita mengenal berbagai
unsur kimia penyusun alam semesta, peserta didik dapat diajarkan untuk memaknai
keselarasan dan keseimbangan unsur-unsur tersebut serta bagaimana menjaga
keseimbangan komposisinya di alam yang bisa menambah rasa syukur dan kagum atas
ciptaan Tuhan. Dalam kegiatan praktikum, ketika siswa dihadapkan pada sebuah
penelitian ilmiah, siswa dituntut untuk berpikir kritis dalam sebuah proses
yang panjang dan objektif terhadap apa pun hasil dari penelitian tersebut,
nilai-nilai kesetiakawanan dan kerja sama pun dilatih dalam bentuk kerja
kelompok.
Contoh-contoh tersebut
dapat diterapkan dalam mata pelajaran yang lain bukan hanya mata pelajaran IPA
saja, sehingga dalam proses pembelajaran guru tidak hanya memberikan
pengetahuan tentang mata pelajaran saja namun sekaligus menanamkan nilai-nilai
moral pada peserta didik tersebut.
Pengembangan pemikiran
moral perlu disertai dengan pengembangan komponen afektif. Dalam proses
perkembangan moral, kedua komponen tersebut, yaitu komponen kognitif dan
afektif sama pentingnya. Aspek kognitif memungkinkan seseorang dapat menentukan
pilihan moral secara tepat, sedangkan aspek afektif menajamkan kepekaan hati
nurani, yang memberikan dorongan untuk melakukan tindakan bermoral (Zuchdi,
2010:8).
Dengan menggunakan
aspek kognitif, seseorang dapat berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak dan
dengan aspek afektif seseorang dapat menentukan perbuatan yang baik dan buruk.
Jadi, kedua aspek ini sangat penting dalam menentukan sebuah tindakan agar
tindakan yang diambil adalah sebuah keputusan yang tepat. Aspek afektif dapat
ditanamkan dengan meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa maka kita akan melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, kita dapat memilih hal
yang baik dan yang buruk dalam bertindak.
Sebagai contoh pentingnya
karakter seseorang yang dilandasi dengan moralitas (aspek afektif) daripada
hanya sekedar pintar (aspek kognitif) tapi tidak terpuji seperti halnya orang
bersepeda. Seseorang akan menilai orang lain pandai bersepeda apabila orang
tersebut mempunyai pengetahuan tentang bersepeda dan dapat mempraktekkannya.
Artinya, ketika ia disuruh untuk bersepeda, ia bisa mengendarainya dengan baik
dan tidak terjatuh, bukan dinilai pintarnya dia menguasai teori bersepeda, akan
tetapi dia tidak bisa mengendarainya dan akhirnya terjatuh. Demikian pula
seseorang akan lebih
menghargai orang lain
dalam hal sikap
dan perilakunya yang terpuji
walaupun tidak terlalu
pintar daripada orang
pintar akan tetapi sikap dan
perilakunya tidak baik. Ini menunjukkan betapa penting sikap dan
perlaku terpuji di hadapan manusia, terlebih di hadapan Tuhan.
Oleh karena pentingnya
pendidikan moral ini, maka guru harus dapat mengimplementasikannya dalam proses
pembelajaran di Sekolah. Guru sebagai pendidik harus dapat menanamkan
nilai-nilai moral kepada siswa agar terbentuk moral-moral yang baik pada siswa
tersebut. Hal ini diharapkan agar siswa tidak hanya menguasai aspek kognitif
namun aspek afektif dan psikomotorik yang diwujudkan dalam sebuah proses dan
aplikasi.
Kesimpulan
Pendidikan moral adalah
suatu upaya dalam rangka membantu manusia (peserta didik) untuk menanamkan nilai-nilai moral atau sopan
santun, norma-norma serta etika yang
baik dalam kehidupan sehari-hari sehingga terbentuk individu yang otonom, yang
memahami nilai-nilai moral dan memiliki komitmen untuk bertindak secara
konsisten.
Implementasi pendidikan
moral dalam proses pembelajaran dapat dilakukan dengan cara, guru tidak hanya
mengajar namun juga mendidik artinya guru tidak hanya mengajarkan mata
pelajaran yang diajarkan namun guru dapat mendidik siswa melalui pelajaran
nilai-nilai moral agar bukan pengetahuan akademik saja yang didapatkan tetapi
juga pengetahuan nilai-nilai moral. Dengan demikian, guru tidak sekedar menyampaikan
konten pelajaran yang lebih mengedepankan aspek kognitif, tetapi juga aspek
afektif dan psikomotorik yang diwujudkan dalam sebuah proses dan aplikasi.
Daftar
Pustaka
Durkheim, Emile. 1990. Pendidikan Moral. Jakarta: Erlangga.
Mansur, Amril. 2006. Implementasi Klarifikasi Nilai Dalam
Pembelajaran dan Fungsionalisasi Etika Islam. Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2006: 65-66.
Massofa. 2008. Pengertian Etika, Moral, Etiket. http://massofa.wordpress.com/
2008/11/17/pengertian-etika-moral-dan-etiket/. [29 Mei 2012].
Wahyudin, Dinn, dkk. 2009. Pengantar Pendidikan. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Zuchdi, Darmiyati. 2010. Humanisasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.