Thursday, May 2, 2013

Jurnal Implementasi Pendidikan Moral Dalam Proses Pembelajaran Di Sekolah


Implementasi Pendidikan Moral Dalam Proses Pembelajaran Di Sekolah

Nur Baity
NIM 110210103006
Kelas A

ABSTRAK
Kerusakan moral pada peserta didik disebabkan oleh kurangnya pendidikan nilai-nilai moralitas pada peserta didik. Pendidikan moral dapat menjadi solusi dari permasalahan ini. Dengan adanya Pendidikan moral, diharapkan manusia (peserta didik) dapat menerapkan nilai-nilai moral atau sopan santun, norma-norma serta etika yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai bentuk tanggung jawab dari pendidikan di sekolah, maka bagaimana mengimplementasikan pendidikan moral ini dalam proses pembelajaran. Tulisan ini akan mencoba memberikan pemikiran yang berkaitan dengan persoalan tersebut.

Kata Kunci: implementasi, pendidikan moral, proses pembelajaran

Pendahuluan
Pendidikan adalah sebuah proses untuk mengubah jati diri seorang peserta didik untuk lebih maju. Nilai-nilai pendidikan sendiri adalah suatu makna dan ukuran yang tepat dan akurat untuk mempengaruhi adanya pendidikan itu sendiri. Seperti telah kita ketahui bahwa nilai-nilai pendidikan sekarang ini mengalami penurunan, hal ini dibuktikan dengan perilaku peserta didik dewasa ini cenderung melupakan norma, aturan, tata krama terlebih moralitas yang kurang baik yang disebabkan kurangnya pendidikan nilai-nilai moralitas di bangku sekolah.
Kita seringkali menyaksikan di banyak media massa, elektronik dan cetak, fenomena tingkah laku amoral peserta didik dari tingkat SMP sampai SMA yang semakin hari semakin meningkat, dari tindakan amoral yang paling ringan, seperti: membohong, menipu, perilaku menyontek di sekolah, tidak menaati peraturan, mélanggar norma, mencaci maki, dll., sampai pada tingkat yang paling menghawatirkan, mencemaskan dan meresahkan orang tua dan masyarakat, bahkan mengganggu ketertiban umum, kenyamanan, ketenteraman, dan kesejahteraan, serta merusak fasilitas umum, seperti: mencuri, menodong/merampok, menjambret, memukul, tawuran pelajar, tindak kekerasan, criminal, demonstrasi yang anargis, mabuk, dan bahkan sampai membunuh, serta mutilasi. Selain itu, banyak juga di kalangan peserta didik yang sudah mulai menggunakan obat-obatan terlarang seperti narkoba. Pendek kata perilaku amoral ini mengancam keselamatan fisik dan jiwa diri mereka dan orang lain.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka diperlukan suatu tindakan sedini mungkin. Dalam hal ini, pendidikan moral dapat menjadi solusi dari permaslahan ini. Pendidikan moral dapat ditanamkan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan moral dalam keluarga dapat diberikan oleh orang tua, namun pendidikan moral di keluarga saja tidak cukup. Oleh karena itu, sekolah dapat menjadi tempat dalam menanamkan pendidikan moral ini. Guru dapat mengajarkan pendidikan moral ini saat proses pembelajaran. Hal ini ditujukan agar siswa selain mendapatkan pengetahuan akademik juga mendapatkan pengetahuan moral yang baik.
Pendidikan moral perlu menjadi prioritas dalam kehidupan. Adanya panutan nilai, moral, dan norma dalam diri manusia dan kehidupan akan sangat menentukan totalitas diri individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial, dan kehidupan individu.
Pendidikan moral secara kependidikan diperlukan bukan hanya substansi yang semata-mata diajarkan, tetapi lebih mendasar sebagai interaksi sosial budaya dan edukatif antara siswa dengan seluruh unsur pendidikan yang ada di sekolah dan masyarakat, yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya serta terwujudnya individu yang bermoral baik.
            Mengacu pada kondisi tersebut, maka permasalahan yang berkaitan dengan hal tersebut dirumuskan sebagai berikut. Apa yang di maksud dengan pendidikan moral? Bagaimana implementasi pendidikan moral pada proses pembelajaran?
           
Pengertian Pendidikan Moral
Pendidikan didefinisikan sebagai humanisasi (upaya memanusiakan manusia), yaitu suatu upaya dalam rangka membantu manusia (peserta didik) agar mampu hidup sesuai dengan martabat kemanusiaannya (Wahyudin, 2009: 1.29). Artinya, bahwa pendidikan menjadi usaha untuk membuat manusia (peserta didik) menjadi seseorang yang lebih baik, bermartabat, bermoral dan berbudi pekerti yang baik bukan malah sebaliknya. Pendidikan menjadi sarana untuk mengubah perilaku manusia menjadi lebih baik. Pendidikan didapatkan dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan yang pertama kali diberikan adalah dari lingkungan keluarga kemudian sekolah dan masyarakat.
Istilah Moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata ‘moral’ yaitu mos sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata ‘etika’, maka secara etimologis, kata ’etika’ sama dengan kata ‘moral’ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan,adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ’moral’ sama dengan kata ‘etika’, maka rumusan arti kata ‘moral’ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. (Massofa, 2008 [on line]).
K. Bertens, mengungkapkan bahwa moral itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Makna yang hampir sama untuk kata moral juga ditampilkan oleh Lorens Bagus, mengungkapkan antara lain, menyangkut kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik/buruk, benar/salah, tepat/tidak tepat,  atau menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain (Mansur, 2006).
Dari definisi diungkap di atas tercermin, bahwa kata moral itu, paling tidak  memuat dua hal yang amat pokok yakni, 1) sebagai cara seseorang atau kelompok bertingkah laku dengan orang atau kelompok lain, 2) adanya norma-norma atau nilai-nilai yang menjadi dasar bagi cara bertingkah laku tersebut (Mansur, 2006).
Pendidikan moral mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan, dan perilaku yang baik, jujur, dan penyayang dapat dinyatakan dengan istilah bermoral. Tujuan utama pendidikan moral adalah menghasilkan individu yang otonom, yang memahami nilai-nilai moral dan memiliki komitmen untuk bertindak konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Pendidikan moral mengandung beberapa komponen, yaitu pengetahuan tentang moralitas, penalaran moral, perasaan kasihan dan memerhatikan kepentingan orang lain, serta tendensi moral (Zuchdi, 2010:43).
Dari penjelasan di atas, dapat diartikan bahwa pendidikan moral adalah suatu upaya dalam rangka membantu manusia (peserta didik) untuk  menanamkan nilai-nilai moral atau sopan santun,  norma-norma serta etika yang baik dalam kehidupan sehari-hari sehingga terbentuk individu yang otonom, yang memahami nilai-nilai moral dan memiliki komitmen untuk bertindak secara konsisten. Pendidikan moral biasanya diberikan dalam lingkungan keluarga yang diajarkan dari orang tua sampai anggota keluarga lainnya. Selain itu, pendidikan moral ini dapat diberikan saat di sekolah melalui kegiatan pembelajaran atau kegiatan ekstakurikuler. Selain dalam keluarga dan sekolah, pendidikan moral juga didapatkan dari lingkungan masyarakat seperti kegiatan pengajian, sukarelawan bencana alam, dan lain-lain.

Implementasi Pendidikan Moral dalam Proses Pembelajaran
            Pendidikan moral berdasarkan teori perkembangan moral oleh Kohlberg disebut pendekatan kognitif. Peran guru dalam hal ini ada dua macam, yaitu (1) menciptakan konflik negatif, dan (2) merangsang perspektif sosial murid-murid. Dua prinsip ini secara langsung diambil dari teori Kohlberg. Dalam mengajar, guru perlu mengatur kegiatan belajar dalam suatu pola interaksi sosial. Langkah-langkah pedagogis yang harus dilakukan untuk menumbuhkan penalaran moral, seni bertanya, dan menciptakan suasana kelas yang kondusif untuk perkembangan moral (Reimer, Paolitto, dan Hersh, dalam Zuchdi, 2010: 58).
Peranan guru, walaupun sangat terbatas, adalah penting sekali. Guru bertugas memimpin kelas. Tugasnya yang paling utama ialah untuk melipatgandakan keadaan-keadaan di mana perluasan gagasan-gagasan dan sentiment-sentimen bersama dapat berlangsung secara bebas, untuk menghasilkan buah-buah positif, untuk mengkoordinasi mereka, dan memberikan mereka bentuk yang stabil (Durkheim, 1990: 176).
Dalam hal ini, peran guru sangat penting dalam penerapan pendidikan moral saat proses pembelajaran dimana guru menjadi kunci pokok yang utama. Hal-hal yang diajarkan oleh guru, akan menjadi panutan bagi siswanya. Saat guru mengajarkan hal-hal yang baik maka akan menghasilkan output yang baik pula, begitu juga sebaliknya. Perbuatan guru pun akan menjadi panutan bagi peserta didiknya. Apabila perbuatan guru tersebut baik maka siswa akan menirunya, begitu pula sebaliknya. Namun, jika perbuatan buruk yang ditiru oleh siswa maka itu akan sangat berdampak buruk bagi siswa tersebut. Oleh karena itu, guru harus menjadi teladan yang baik bagi peserta didiknya agar dapat mewujudkan peserta didik yang bermoral baik.
Menurut Lickona (dalam Zuchdi, 2010: 58) mengenai perilaku guru menyatakan bahwa guru dalam mengajar di kelas harus berfungsi sebagai pengasuh, model (pemberi teladan), dan mentor. Sebagai pengasuh, guru harus bisa mencintai dan menghargai murid-murid, menolong mereka agar berhasil di sekolah, mengembangkan kesadaran akan harga diri mereka, dan memperlakukan murid-muridnya secara bermoral sehingga mereka dapat mengalami apa yang dimaksud dengan moralitas. Guru juga harus menjadi model atau teladan sebagai orang yang beretika, yang menunjukkan dalam perilakunya rasa hormat dan tanggung jawab yang tinggi baik didalam maupun diluar kelas. Guru juga dapat memberi teladan dengan memberikan perhatian pada moralitas dan melakukan penalaran moral melalui reaksi-reaksinya terhadap kejadian-kejadian yang secara moral bermakna dalam kehidupan sekolah dan kehidupan secara luas. Sebagai mentor, guru menyelenggarakan pembelajaran dan bimbingan melaui penjelasan, diskusi kelas, bercerita, pemberian dorongan, dan memberikan respons yang berupa koreksi jika murid-murid melukai perasaan teman-teman mereka atau perasaan guru.
            Dalam proses belajar mengajar di kelas, guru tidak hanya mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan namun guru dapat menyisipkan pelajaran nilai-nilai moral kepada siswa agar bukan pengetahuan akademik saja yang didapatkan tetapi juga pengetahuan nilai-nilai moral. Dapat diartikan bahwa guru tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik. Mendidik disini berarti bahwa guru mengajarkan nilai-nilai moral, sopan santun, etika yang baik kepada siswa. Guru tidak sekedar menyampaikan konten pelajaran yang lebih mengedepankan aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik yang diwujudkan dalam sebuah proses dan aplikasi. Dalam  praktek  pembelajaran, guru tidak  monoton  dilakukan dalam bentuk ceramah saja, melainkan lebih mengutamakan kepada peneladanan diri dan pelatihan pembentukan karakter . Hal ini dimaksudkan agar pada saat di lingkungan dalam maupun luar sekolah siswa dapat berperilaku yang baik yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku di sekolah maupun di luar sekolah. Selain itu, guru juga dapat menjadi fasilitator bagi siswa yang ingin mencurahkan masalahnya.
Beberapa contoh penanaman nilai moral dalam proses pembelajaran IPA misalnya, dalam mata pelajaran Biologi, guru tidak hanya memberikan hafalan mengenai anatomi tubuh, tetapi juga mengajarkan bagaimana cara menghargai tubuh. Jika tubuh ini adalah sesuatu yang berharga, wujud penghargaan tersebut adalah dengan tidak menindiknya, mentatonya, melukainya, mengonsumsi narkoba dan alkohol, serta tidak melakukan seks bebas. Dalam mata pelajaran fisika misalnya, ketika melihat kestabilan alam semesta dengan hukum-hukum yang berkaitan dengannya, peserta didik tidak hanya diajarkan mengenai rumus-rumus, tetapi juga diajarkan untuk melihat dirinya sebagai komponen alam semesta ini, bahwa ia adalah sebuah makhluk yang sangat kecil di alam ini, sehingga tidaklah pantas seorang manusia memiliki sifat sombong. Dalam mata pelajaran Kimia, kita mengenal berbagai unsur kimia penyusun alam semesta, peserta didik dapat diajarkan untuk memaknai keselarasan dan keseimbangan unsur-unsur tersebut serta bagaimana menjaga keseimbangan komposisinya di alam yang bisa menambah rasa syukur dan kagum atas ciptaan Tuhan. Dalam kegiatan praktikum, ketika siswa dihadapkan pada sebuah penelitian ilmiah, siswa dituntut untuk berpikir kritis dalam sebuah proses yang panjang dan objektif terhadap apa pun hasil dari penelitian tersebut, nilai-nilai kesetiakawanan dan kerja sama pun dilatih dalam bentuk kerja kelompok.
Contoh-contoh tersebut dapat diterapkan dalam mata pelajaran yang lain bukan hanya mata pelajaran IPA saja, sehingga dalam proses pembelajaran guru tidak hanya memberikan pengetahuan tentang mata pelajaran saja namun sekaligus menanamkan nilai-nilai moral pada peserta didik tersebut.
Pengembangan pemikiran moral perlu disertai dengan pengembangan komponen afektif. Dalam proses perkembangan moral, kedua komponen tersebut, yaitu komponen kognitif dan afektif sama pentingnya. Aspek kognitif memungkinkan seseorang dapat menentukan pilihan moral secara tepat, sedangkan aspek afektif menajamkan kepekaan hati nurani, yang memberikan dorongan untuk melakukan tindakan bermoral (Zuchdi, 2010:8).
Dengan menggunakan aspek kognitif, seseorang dapat berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak dan dengan aspek afektif seseorang dapat menentukan perbuatan yang baik dan buruk. Jadi, kedua aspek ini sangat penting dalam menentukan sebuah tindakan agar tindakan yang diambil adalah sebuah keputusan yang tepat. Aspek afektif dapat ditanamkan dengan meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa maka kita akan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, kita dapat memilih hal yang baik dan yang buruk dalam bertindak.
Sebagai contoh pentingnya karakter seseorang yang dilandasi dengan moralitas (aspek afektif) daripada hanya sekedar pintar (aspek kognitif) tapi tidak terpuji seperti halnya orang bersepeda. Seseorang akan menilai orang lain pandai bersepeda apabila orang tersebut mempunyai pengetahuan tentang bersepeda dan dapat mempraktekkannya. Artinya, ketika ia disuruh untuk bersepeda, ia bisa mengendarainya dengan baik dan tidak terjatuh, bukan dinilai pintarnya dia menguasai teori bersepeda, akan tetapi dia tidak bisa mengendarainya dan akhirnya terjatuh. Demikian  pula  seseorang  akan  lebih  menghargai  orang  lain  dalam  hal  sikap  dan perilakunya  yang  terpuji  walaupun  tidak  terlalu  pintar  daripada  orang  pintar  akan tetapi sikap dan perilakunya  tidak baik.  Ini menunjukkan betapa penting sikap dan perlaku terpuji di hadapan manusia, terlebih di hadapan Tuhan. 
Oleh karena pentingnya pendidikan moral ini, maka guru harus dapat mengimplementasikannya dalam proses pembelajaran di Sekolah. Guru sebagai pendidik harus dapat menanamkan nilai-nilai moral kepada siswa agar terbentuk moral-moral yang baik pada siswa tersebut. Hal ini diharapkan agar siswa tidak hanya menguasai aspek kognitif namun aspek afektif dan psikomotorik yang diwujudkan dalam sebuah proses dan aplikasi.

Kesimpulan
Pendidikan moral adalah suatu upaya dalam rangka membantu manusia (peserta didik) untuk  menanamkan nilai-nilai moral atau sopan santun,  norma-norma serta etika yang baik dalam kehidupan sehari-hari sehingga terbentuk individu yang otonom, yang memahami nilai-nilai moral dan memiliki komitmen untuk bertindak secara konsisten.
Implementasi pendidikan moral dalam proses pembelajaran dapat dilakukan dengan cara, guru tidak hanya mengajar namun juga mendidik artinya guru tidak hanya mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan namun guru dapat mendidik siswa melalui pelajaran nilai-nilai moral agar bukan pengetahuan akademik saja yang didapatkan tetapi juga pengetahuan nilai-nilai moral. Dengan demikian, guru tidak sekedar menyampaikan konten pelajaran yang lebih mengedepankan aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik yang diwujudkan dalam sebuah proses dan aplikasi.

Daftar Pustaka
Durkheim, Emile. 1990. Pendidikan Moral. Jakarta: Erlangga.
Mansur, Amril. 2006. Implementasi Klarifikasi Nilai Dalam Pembelajaran dan Fungsionalisasi Etika Islam. Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2006: 65-66.
Massofa. 2008. Pengertian Etika, Moral, Etiket. http://massofa.wordpress.com/ 2008/11/17/pengertian-etika-moral-dan-etiket/. [29 Mei 2012].
Wahyudin, Dinn, dkk. 2009. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.
Zuchdi, Darmiyati. 2010. Humanisasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.


Tuesday, April 30, 2013

Asidosis Tubulus Renalis (ATR)


Pendahuluan
ATR Adalah suatu penyakit ginjal (renal) khususnya pada bagian tubulus renalis-nya. Menurut sejumlah literatur ilmiah bidang kesehatan, penyakit ATR ini memang tergolong penyakit langka, dengan manifestasi klinis yang tidak spesifik sehingga diagnosis sering terlambat.
Dalam keadaan normal, ginjal menyerap asam sisa metabolisme dari darah dan membuangnya ke dalam urin. Pada penderita penyakit ini, bagian dari ginjal yang bernama tubulus renalis tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga hanya sedikit asam yang dibuang ke dalam urin. Akibatnya terjadi penimbunan asam dalam darah, yang mengakibatkan terjadinya asidosis, yakni tingkat keasamannya menjadi di atas ambang normal (Hamiwanto, 2007[Online]).
Menurut sejumlah literatur ilmiah bidang kesehatan, penyakit ATR ini memang tergolong penyakit yang jarang terjadi, dengan manifestasi klinis yang tidak spesifik sehingga diagnosis sering terlambat. Namun menurut Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, Sp.A (K), dokter spesialis gizi dan metabolik anak pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak di RSCM Jakarta, pasien penyakit ATR yang dia ditangani semakin hari semakin banyak. Pada tahun 2005 saja, pasien ATR yang dia tangani ada sekitar 20-an orang anak. Dan setiap tahun angka prevalensinya senantiasa bertambah.
Berdasarkan  hal  tersebut,  maka  penulis  ingin  meneliti  lebih  lanjut mengenai Apa yang dimaksud dengan Asidosis Tubulus Renalis (ATR)? Apa penyebab dari Asidosis Tubulus Renalis (ATR)? Bagaimana gejala dari penyakit Asidosis Tubulus Renalis (ATR)? Apa dampak yang ditimbulkan dari penyakit ATR? dan Bagaimana  pengobatan Asidosis Tubulus Renalis (ATR)?

Pengertian Asidosis Tubulus Renalis (ATR)
Asidosis Tubulus Renalis (ATR) adalah sindrom klinik yang disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal untuk menjaga perbedaan pH normal antara darah dan lumen tubulus ginjal. Gangguan yang terjadi berupa gangguan reabsorbsi bikarbonat pada tubulus ginjal, gangguan ekskresi H+, atau keduanya sehingga menyebabkan asidosis metabolik yang terus menerus (Pediatri, 2003).
Pada asidosis tubulus ginjal terdapat kegagalan sekresi ion hidrogen di tubulus distal. pH urin tetap terlalu tinggi walaupun terdapat asidosis sistemik yang berat. Gangguan ini bisa diturunkan sebagai sifat dominan autosomal atau terjadi akibat kerusakan medulla ginjal karena pielonefritis, uropati obstruktif, ginjal spons medulla, atau iskemia. Secara keseluruhan, 70% pasien mengalami nefrokalsinosis, dan osteomalasia (atau rakitis pada anak-anak) sering dijumpai. Pengobatannya adalah pemberian bikaronat oral, sering disertai suplemen kalium (Rubenstein, 2003)
Asidosis Tubulus Renalis ditandai adanya asidosis metabolic hiperkloremik dengan senjang anion plasma dan laju filtrasi glomerulus normal. Manifestasi klinis ATR tidak spesifik dapat berupa gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah, konstipasi, diare, dehidrasi dan poliuria. Diagnosis dini dan tata laksana yang adekuat sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti gagal tumbuh, nefrokalsinosis, nefrolitiasis, dan gagal ginjal. ATR dapat dibedakan menjadi 4 tipe yaitu tipe I atau distal, tipe II atau proksimal, tipe III atau hibrid, dan tipe IV atau ATR hiperkalemik (Pediatri, 2003).
Renal Tubular Asidosis (RTA) adalah suatu kondisi medis yang melibatkan suatu akumulasi asam dalam tubuh karena kegagalan ginjal untuk tepat mengasamkan urinKetika darah disaring oleh ginjal, filtrat melewati tubulus dari nefron, memungkinkan untuk pertukaran garam, setara asam, dan zat terlarut lain sebelum mengalir ke kandung kemih sebagai urin. Para asidosis metabolik yang dihasilkan dari RTA dapat disebabkan baik oleh kegagalan untuk memulihkan cukup (alkali) ion bikarbonat dari filtrat di bagian awal nefron (proksimal tubulus) atau oleh sekresi tidak cukup (asam) ion hidrogen menjadi bagian terakhir nefron (tubulus distal) (Hamiwanto, 2007 [Online]).
Meskipun asidosis metabolik juga terjadi pada mereka dengan insufisiensi ginjal, istilah RTA disediakan untuk individu dengan pengasaman urin miskin di dinyatakan ginjal yang berfungsi dengan baik. Beberapa jenis RTA ada, yang semua memiliki sindrom yang berbeda dan penyebab yang berbeda (Hamiwanto, 2007 [Online]).
Para asidosis kata mengacu pada kecenderungan RTA untuk menurunkan pH darah. Bila pH darah di bawah normal (7,35), ini disebut acidemia. Asidosis metabolik yang disebabkan oleh RTA adalah asidosis anion gap yang normal (Hamiwanto, 2007 [Online]).
Dalam keadaan normal, ginjal menyerap asam sisa metabolisme dari darah dan membuangnya ke dalam urin. Pada penderita penyakit ini, bagian dari ginjal yang bernama tubulus renalis tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga hanya sedikit asam yang dibuang ke dalam urin. Akibatnya terjadi penimbunan asam dalam darah, yang mengakibatkan terjadinya asidosis, yakni tingkat keasamannya menjadi di atas ambang normal (Hamiwanto, 2007 [Online]).

Penyebab Asidosis Tubulus Renalis (ATR)
Dunia kedokteran belum dapat memastikan penyebab ATR. Namun diduga penyakit ini disebabkan faktor keturunan atau bisa timbul akibat obat-obatan, keracunan logam berat atau penyakit autoimun (misalnya lupus eritematosus sistemik atau sindroma Sjogren) (Hamiwanto, 2007 [Online]).
Menurut Rubenstein (2003) menyatakan bahwa gangguan Asidosis Tubulus Renalis (ATR) bisa diturunkan sebagai sifat dominan autosomal atau terjadi akibat kerusakan medula ginjal karena pielonefritis, uropati obstruktif, ginjal spons medulla, atau iskemia.

(Hayes, 1997)
Bawaan cacat pada gen yang mengatur beberapa sistem transportasi yang terlibat dalam kontrol tubular asam-basa keseimbangan mengarah pada berbagai jenis dari RTA primer. Ginjal kembali menyerap unutuk menyaring bikarbonat dan, di samping itu, menyusun kembali bikarbonat yang digunakan dalam penyangga asam yang tetap diproduksi sehari-hari. Sebagian besar reabsorpsi bikarbonat mengambil tempat di tubulus proksimal sedangkan ekskresi ion hidrogen dengan pemulihan digabungkan bikarbonat terjadi di nefron distal (Chan, 2007).

Gejala Asidosis Tubulus Renalis (ATR)
Tanda dan Gejala yang ditimbulkan dari penyakit ini antara lain:
-                  Tinnitus, mata kabur dan vertigo karena keracunan salisilat
-                  Gangguan Visual, dimming, photophobia, scotomata, and frank blindness
-                  Palpitasi (berdebar-debar)
-                  Nyeri dada
-                  Sakit Kepala
-                  Perubahan visual
-                  Perubahan Mental
-                  Mual, muntah
-                  Nyeri perut
-                  Diare
-                  Polyphagia
-                  Kelemahan otot
-                  Nyeri tulang
·         Neurologi
o   Kelemahan Saraf kranial karena intoksikasi ethylene glycol.
o   Retinal edema Lethargy, stupor, and coma karena metabolic acidosis berat, sebagian dikaitkan dengan toxic ingestion
·         Kardiovascular
o   Hipotensi dan dan gagal jantung kongestif
o   Paru Sesak ( tachypnea and hyperpnea).
o   Napas Kussmaul (napas cepat dan dalam)Hyperventilasi
·         Musculoskeletal
Malformasi tulang panjang dan fraktur atau patah tulang (vitamin D resistant, rickets)
(Hamiwanto, 2007 [Online]).
Dampak Asidosis Tubulus Renalis (ATR)
Penyakit asidosis jika dibiarkan bisa menimbulkan dampak berikut:
§  Rendahnya kadar kalium dalam darah. Jika kadar kalium darah rendah, maka terjadi kelainan neurologis seperti kelemahan otot, penurunan refleks dan bahkan kelumpuhan.
§  Pengendapan kalsium di dalam ginjal yang dapat mengakibatkan pembentukan batu ginjal. Jika itu terjadi maka bisa bisa terjadi kerusakan pada sel-sel ginjal dan gagal ginjal kronis.
§  Kecenderungan terjadinya dehidrasi (kekurangan cairan)
§  Pelunakan dan pembengkokan tulang yang menimbulkan rasa nyeri (osteomalasia atau rakitis).
§  Gangguan motorik tungkai bawah merupakan keluhan utama yang sering ditemukan, sehingga anak mengalami keterlambatan untuk dapat duduk, merangkak, dan berjalan.
§  Kecenderungan gangguan pencernaan, karena kelebihan asam dalam lambung dan usus, sehingga pasien mengalami gangguan penyerapan zat gizi dari usus ke dalam darah. Akibat selanjutnya pasien mengalami keterlambatan tumbuh kembang (delayed development) dan berat badan kurang.
(Hamiwanto, 2007 [Online]).

Pengobatan Asidosis Tubulus Renalis (ATR)
Sejauh ini dunia kedokteran belum menemukan obat atau terapi untuk menyembuhkannya, karena penyakit ini tergolong sebagai kerusakan organ tubuh, seperti penyakit diabetes mellitus (akibat kerusakan kelenjar insulin). Sementara ini penanganan ATR baru sebatas terapi untuk mengontrol tingkat keasaman darah, yaitu dengan memberikan obat yang mengandung zat bersifat basa (alkalin) secara berkala (periodik), sehingga tercapai tingkat keasaman netral, seperti pada orang normal. Zat basa ini mengandung bahan aktif natrium bikarbonat (bicnat) (Hamiwanto, 2007 [Online]).
Karena penyakit ini belum ditemukan obat untuk menyembuhkannya, sebagaimana disebut di atas, maka pemberian bicnat akan berlangsung dalam jangka waktu yang sangat panjang. Bahkan mungkin hingga seumur hidupnya (Hamiwanto, 2007 [Online]).
Jika sulit untuk meminum obat misalnya pada anak-anak, Dokter juga merekomendasikan pemakaian sonde atau selang nasogastrik (NGT) yang dimasukkan ke dalam lubang hidung pasien, masuk ke rongga hidung, lalu ke tenggorokan, hingga berujung di dalam lambung. Pada ujung luar NGT terdapat katup untuk membuka-menutup jalan masuk obat. Orangtua tinggal memasukkan obat melalui NGT tersebut dengan bantuan spuit (alat suntik) (Hamiwanto, 2007 [Online]).
Tujuan terapi adalah koreksi asidosis dan mempertahankan kadar bikarbonat dan kalium serum normal. Sebagian besar keadaan penderita dapat dikoreksi dengan terapi oral; pada bayi yang sedang menderita asidosis dan hipokalemia berat, mungkin pada mulanya diperlukan terapi intra vena. Larutan alkalinisasi untuk penggunaan oral yang paling kurang mahal dan paling mudah adalah larutan Shohl yang mengandung “ekuivalen bikarbonat” sebagai natrium sitrat 1 mEq/mL. untuk penderita yang memerlukan penambahan kalium, dapat ditambahkan kalium sitrat untuk membentuk larutan yang mengandung 1 mEq/mL masing-masing natrium dan kalium, dan 2 mEq/mL ekuivalen bikarbonat. Tablet bikarbonat (325 dan 650 mg) dapat juga digunakan pada penderita yang lebih tua. Penderita yang sedang menderita ATG defisiensi-mineralkortikoid mungkin juga memerlukan diuretic dan/atau resin polisitiren sulfonat untuk mengurangi kadar kalium sampai normal. Penambahan karnitin dapat bermanfaat jika kadar serumnya menurun (Behrman, 2000).
Kesimpulan
Asidosis Tubulus Renalis (ATR) adalah suatu kondisi medis yang melibatkan suatu akumulasi asam dalam tubuh karena kegagalan ginjal untuk tepat mengasamkan urin. Pada penderita penyakit ini, bagian dari ginjal yang bernama tubulus renalis tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sehingga hanya sedikit asam yang dibuang ke dalam urin. Akibatnya terjadi penimbunan asam dalam darah, yang mengakibatkan terjadinya asidosis, yakni tingkat keasamannya menjadi di atas ambang normal
Penyebab penyakit ini Asidosis Tubulus Renalis (ATR) diduga karena faktor keturunan atau bisa timbul akibat obat-obatan, keracunan logam berat atau penyakit autoimun (misalnya lupus eritematosus sistemik atau sindroma Sjogren).
Gejala dari penyakit Asidosis Tubulus Renalis antara lain adalah tinnitus, palpitasi (berdebar-debar), nyeri dada, sakit kepala, perubahan visual, perubahan mental, mual, muntah, nyeri perut, diare, polyphagia, kelemahan otot, nyeri tulang.
Penyakit asidosis jika dibiarkan bisa menimbulkan dampak, diantaranya adalah rendahnya kadar kalium dalam darah, pengendapan kalsium di dalam ginjal yang dapat mengakibatkan pembentukan batu ginjal, dehidrasi, rakitis, gangguan motorik tungkai bawah, dan gangguan pencernaan.
Penanganan ATR baru sebatas terapi untuk mengontrol tingkat keasaman darah, yaitu dengan memberikan obat yang mengandung zat bersifat basa (alkalin) secara berkala (periodik), sehingga tercapai tingkat keasaman netral, seperti pada orang normal. Zat basa ini mengandung bahan aktif natrium bikarbonat (bicnat)

Daftar Pustaka
Behrman, Richard E., dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Vol. 3. Jakarta: EGC.
Chan, James C. M., & Fernando Santos. Renal Tubular Acidosis in Childhood. World Journal Pediatrics, 2007; 3(2): 92-97.
Hamiwanto. 2007.  Mengenal Penyakit Asidosis Tubulus Renalis. http://hamiwanto.multiply.com/journal/item/2.[ Diakses 11 Januari 2013].
Hayes, Peter C & Thomas W. Mackay. 1997. Buku Saku Diagnosis dan Terapi. Jakarta: EGC.
Pardede, Sudung O., dkk. 2003. Gambaran Klinis Asidosis Tubulus Renalis pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 4, No. 4, Maret 2003: 192-197.
Rubenstein, David, dkk. 2003. Kedokteran Klinis. Jakarta: Erlangga.

KLASIFIKASI MEDIA PEMBELAJARAN MENERUT PARA AHLI


KLASIFIKASI MEDIA PEMBELAJARAN MENERUT PARA AHLI
Berikut klasifikasi media pembelajaran menurut beberapa ahli:
Kemp & Dayton(1985), Mengelompokkan media ke dalam delapan jenis, yaitu:
1) Media cetakan
Yaitu meliputi bahan-bahan yang disiapkan di atas kertas untuk pengajaran dan informasi. Misalnya buku teks, lembaran penuntun, penuntun belajar, penuntun instruktur, brosur, dan teks terpogram.
2) Media pajang
Pada umumnya digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi di depan kelompok kecil. Misalnya papan tulis, flip chart, papan magnet, papan kain, papan buletin, dan pameran.
3) OHP dan transparansi
Transparansi yang diproyeksikan adalah visual baik berupa huruf, lambang, gambar, grafik atau gabungannya pada lembaran tembus pandang atau plastik yang dipersiapkan untuk diproyeksikan ke sebuah layar atau dinding.
4) Rekaman audiotape
Pesan dan isi pelajaran dapat direkam pada tape magnetik sehingga hasil rekaman itu dapat diputar kembali pada saat diinginkan.
5) Seri slide (film bingkai) dan filmstrips
Adalah suatu film transparansi yang berukuran 35 mm dengan bingkai 2 x 2 inci. Bingkai tersebut terbuat dari karton atau plastik. Film bingkai diproyeksikan melalui slide proyektor. Program kombinasi film bingkai bersuara pada umumnya berkisar 10 sampai 30 menit dengan jumlah gambar 10 sampai 100 buah.
6) Penyajian multi-image
Media berbasis visual (image atau perumpamaan) dapat memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata. Bentuk visualnya berupa gambar representasi seperti gambar, lukisan atau foto yang menununjukkan bagaimana suatu benda. Diagram yang melukiskan hubungan konsep, organisasi, dan struktur materi.
7) Rekaman video dan film hidup
Film atau gambar hidup merupakan gambar-gambar dalam frame di mana frame demi frame diproyeksikan melalui lensa proyektor secara mekanis sehingga pada layar terlihat gambar hidup.
8 ) Komputer
Mesin yang dirancang khusus untuk memanipulasi yang diberi kode, mesin elektronik yang otomatis melakukan pekerjaan dan perhitungan sederhana dan rumit. satu unit komputer terdiri atas empat komponen dasar, yaitu input (keybord dan writing pad), prosesor (CPU: unit pemroses data yang diinput), penyimpanan data (memori permanen/ROM, sementara RAM), dan output (monitor, printer).

Seels & Glasgow (1990)
Melakukan klasifikasi media pembelajaran berdasarkan perkembangan teknologi, mereka membagi dalam dua kategori luas, yaitu pilihan media tradisional dan pilihan media teknologi mutakhir.
1) Pilihan Media Tradisional
a. Visual diam yang diproyeksikan
• proyeksi opaque (tak tembus pandang)
• proyeksi overhead
• slides
• filmstrips
b. Visual yang tak diproyeksikan
• gambar, poster
• foto
• charts, grafik, diagram
• pameran, papan info, papan-bulu
c. Audio
• rekaman piringan
• pita kaset, reel, catridge
d. Pernyajian multimedia
• slide plus suara (tape)
• multi-image
e. Visual dinamis yang diproyeksikan
• film
• televisi
• video
f. Cetak
• buku teks
• modul, teks terpogram
• workbook
• majalah ilmiah, berkala
• lembaran lepas (hand-out)
g. Permainan
• teka-teki
• simulasi
h. Realita
• model
• specimen (contoh)
• manipulatif (peta, boneka)
2) Pilihan Media Teknologi Mutakhir
a. media berbasis telekomunikasi
• telekonferen
• kuliah jarak jauh
b. Media berbasis mikroprosesor
• computer-assisted instruction (pembelajaran dengan bantuan komputer)
• permainan komputer
• sistem tutor intelejen
• interaktif
• hypermedia
• compact video disc

Leshin, Pollock & Reigeluth (1992)
Mengklasifikasi media ke dalam lima kelompok, yaitu:
1) Media berbasis manusia (guru, instruktur, tutor, main-peran, dan kegiatan kelompok)
2) Media berbasis cetak (buku, penuntun, buku latihan, alat bantu kerja, dan lembaran lepas)
3) Media berbasis visual (buku, alat bantu kerja, bagan, grafik, peta, gambar, transparansi, dan slide)
4) Media berbasis audio-visual (video, film, program slide-tape, dan televisi)
5) Media berbasis komputer (pengajaran dengan bantuan komputer, interaktif video dan hypertext)

Gerlach dan Ely
Mengklasifikasikan media berdasarkan ciri-ciri fisiknya ke dalam delapan tipe, yaitu:
a.       Benda sebenarnya (realita): orang, kejadian, objek atau benda tertentu.
b.      Presentasi verbal: media cetak, kata-kata yang diproyeksikan melalui film bingkai (slide), transparansi, cetakan di papan tullis, majalah dan papan tempel.
c.       Presentasi grafis: bagan, grafik, peta, diagram, lukisan, poster, kartun dan karikatur.
d.      Potret diam (still picture): potret yang diambil dari berbagai macam objek atau peristiwa yang mungkin dapat dipresentasikan melalui buku, film rangkai (filmstrips), film bingkai (slide) atau majalah/surat kabar.
e.       Film(motion picture): film atauvideo tape dari pemotretan/perekaman benda atu kejadian sebenarnya, maupun film dari pemotretan gambar (animasi).
f.       Rekaman suara (audio recorder): yaitu rekaman suara saja yang menggunakan bahasa verbal maupun efek suara musik (sound effect).
g.      Program: terkenal pula dengan istilah pengajaran berprogram, yaitu sikuen dari informasi baik verbal, visual atau audio yang sengaja dirancang untuk merangsang adanya respons dari pebelajar. ada pula yang dioersiapkan dan diprogram melalui mesin komputer.
h.      Simulasi: peniruan situasi yang sengaja diadakan untuk mendekati/menyerupai kejadian atau keadaaan sebenarnya. Misalnya prilaku bagaimana seoarang sopir ketika sedang mengemudi yang ditunjukan pada layar video atau layar film

Klasifikasi berdasarkan jenis dan tingkat pengalaman yang diperoleh Thomas secara sederhana menggolongkan media pembelajaran ke dalam tiga jenjang pengalaman, yaitu sebagai berikut.
a. Pengalaman langsung (the real life experiences)
Berupa pengalaman langsung dalam suatu peristiwa (firs hands experiences) maupun mengamati kejadian atau objek sebenarnya.
b. Pengalaman tiruan (the subtitute of the real experiences)
Berupa tiruan atau model dari objek atau benda yang berwujud model tiruan, tiruan dari situasi melalui dramatisasi atau sandiwara dan berbagai rekaman atau objek atau kejadian.
c. Pengalaman dari kata-kata (words only)
Berupa kata-kata lisan yang diucapkan, rekaman kata-kata dari media perekam dan kata-kata yang ditulis maupun dicetak.

Edgar Dale dalam bukunya “Audio Visual Methode in Teaching” mengklasifikasi media pembelajaran berdasarkan jenjang pengalaman yang diperoleh orang yang belajar. Dalam kerucut pengalaman Dale ini jenjang pengalaman disusun secara urut menurut tingkat kekongkritan dan keabstrakkannya. Pengalaman yang paling kongkrit diletakkan pada dasar kerucut dan semakin ke puncak pengalaman yang diperoleh semakin abstrak.

Klasifikasi berdasarkan pesepsi indera yang diperoleh.
Dalam penggolongan ini media dibedakan dalam tiga kelas, yaitu media audio, media visual, dan media audio visual. Namun Sulaiman menggolongkan media pembelajaran menjadi sebagai berikut.
a.       Media audio: media yang menghasilkan bunyi, misalnya Audio Cassette Tape Recorder, dan Radio.
b.      Media visual: media visual dua dimensi, dan media visual tiga dimensi.
c.       Media audio-visual: media yang dapat menghasilkan rupa dan suara dalam suatu unit media. Misalnya film bersuara dan televisi.
d.      Media audio motion visual: penggunaan segala kemampuan audio dan visual ke dalam kelas, seperti televisi, video tape/cassette recorder dan sound-film.
e.       Media audio still visual: media lengkap kecuali penampilan motion/geraknya tidak ada, seperti sound-filmstrip, sound-slides, dan rekaman still pada televisi.
f.       Media audio semi-motion: media yang berkemampuan menampilkan titik-titik tetapi tidak bisa menstransmit secara utuh suatu motion yang nyata. Misalnya: telewriting dan recorded telewriting..

Klasifikasi berdasarkan penggunaannya
a.       Media pembelajaran yang penggunaannya secara individual.
Misalnya laboratorium bahasa, IPA, IPS serat laboratorium Pusat Sumber Belajar.
b.      Media pembelajaran yang penggunaannya secara kelompok (misal film dan slides)
c.       Media pembelajaran yang penggunaannya secara massal (misal televisi)

Di samping di atas , media juga dapat dikelompokan berdasarkan sifat modernnitasnya, antara lain sebagai berikut.
a.       Ruang kelas otomatis
yaitu ruang kelas yang dapat diubah-ubah fungsinya secara otomatis (guru tinggal menekan tombol) untuk menciptakan perubahan kelas besar menjadi kelas kecil atau diskusi.
b.      Sistem proyeksi berganda (multiprojection system)
Suatu sistem ruang proyeksi yang melengkapi ruang kelas otomatis, yang memungkinkan proyeksi bahan-bahan melalui berbagai proyektor secara terkoordinasi.
c.       Sistem interkomunikasi.
Sistem ini dibuat dalam rangka pengajaran secara massal, dimana programnya di-TV-kan. Sistem ini digunakan untuk beberapa kelas dalam suatu sekolah maupun oleh beberapa sekolah. Untuk memelihara interaksi dan partisipasi siswa setiap kelas disediakn media interkomunikasi.

5) Klasifikasi berdasarkan pemanfaatannya
Duncan menyusun penggolongan media menurut hirarki pemanfaatannya untuk pembelajaran. Duncan ingin mensejajarkan biaya investasi, kelangkaan dan keluasan lingkup sasarannya di satu pihak dan kemudahan pengadaan serta penggunaan, keterbatasan lingkup sasaran dan rendahnya biaya di lain pihak dengan tingkat kerumitan perangkat medianya dalam suatu hirarki. Dengan kata lain semakin rumit jenis perangkat media yang dipakai, semakin mahal biaya investasinya, semakin susah pengadaannya, tetapi juga semakin umum penggunaannya dan semakin luas lingkup sasarannya. Sebaliknya semakin sederhana jenis perangkat medianya, semakin murah biayanya, semakin mudah pengadaanya, sifat penggunaanya semakin khusus dan lingkup sasarannya terbatas.

Setyosari dan Sihkabuden (2005)
Mengklasifikasi media pembelajaran berdasarkan lima kategori. Yaitu klasifikasi media berdasarkan: bentuk dan ciri fisiknya, jenis dan tingkat pengalaman yang diperoleh, pesepsi indera yang diperoleh, penggunaannya, dan hirarkhi pemanfaatannya.
1) Klasifikasi berdasarkan bentuk dan ciri fisiknya
a. Media pembelajaran dua dimensi
yaitu media yang penampilannya tanpa menggunakan media proyeksi dan berukuran panjang kali lebar saja serta hanya diamati dari satu arah pandangan saja. Misalnya peta, gambar bagan, dan semua jenis media yang hanya dilihat dari sisi datar saja.
b. Media pembelajaran tiga dimensi
yaitu media yang penampilannya tanpa menggunakan media proyeksi dan mempunyai ukuran panjang, lebar dan tinggi/tebal serta dapat diamati dari arah pandang mana saja. misalnya meja, kursi, mobil, rumah, gunung, dan sebagainya.
c. Media pandang diam
yaitu media yang menggunakan media proyeksi yang hanya menampilkan gambar diam di layar (tidak bergerak/statis). Misalnya foto, tulisan, atau gambar binatang yang dapat diproyeksikan.
d. Media pandang gerak
yaitu media yang menggunakan merdia proyeksi yang dapat menampilkan gambar bergerak dilayar, termasuk media televisi dan video tape recorder termasuk media pandang gerak yang disajikan melalui layar (screen) di komputer atau layar lainnya
Brezt (1972), yang mengidentifikasi media dalam tiga unsur pokokyaitu: suara, visual dan gerak. Berdasarkan ketiga unsur tersebut Brezt mengklasifikasi media ke dalam delapan klasifikasi yaitu:
• media audio visual gerak
• media audio visual diam
• media audio semi-gerak
• media visual gerak
• media visual diam
• media semi-gerak
• media audio
• media cetak

Smaldino, menklasifikasikan media sebagai berikut :
• Text : poster, chalkboard,computer screen
• Audio : music, mechanical sounds, noise
• Visual : photographs, graphics in book, cartoons
• Video : including DVD, videotape, computer animation
• Manipulatives : three dimensional, can be touched
• People : teachers, students

Gagne, mengelompokkan media berdasarkan tingkatan hirarki belajar yang dikembangkannya. Menurutnya, ada 7 macam kelompok media seperti:
• benda untuk didemonstrasikan,
• komunikasi lisan,
• media cetak,
• gambar diam,
• gambar gerak,
• film bersuara,
• mesin belajar.

Briggs, mengklasifikasikan media menjadi 13 jenis berdasarkan kesesuaian rangsangan yang ditimbulkan media dengan karakteristik siswa. Ketiga belas jenis media tersebut adalah:
• objek/benda nyata,
• model,
• suara langsung,
• rekaman audio,
• media cetak,
• pembelajaran terprogram,
• papan tulis,
• media transparansi,
• film bingkai,
• film (16 mm),
• film rangkai,
• televisi,
• gambar (grafis).

Schramm, media digolongkan menjadi
• media rumit
• mahal,
• media sederhana.
Schramm juga mengelompokkan media menurut kemampuan daya liputan, yaitu :
(1) liputan luas dan serentak seperti TV, radio, dan facsimile;
(2) liputan terbatas pada ruangan, seperti film, video, slide, poster audio tape;
(3) media untuk belajar individual, seperti buku, modul, program belajar dengan komputer dan telpon.

Menurut Allen, terdapat sembilan kelompok media, yaitu:
• visual diam,
• film,
• televisi,
• obyek tiga dimensi,
• rekaman,
• pelajaran terprogram,
• demonstrasi,
• buku teks
• cetak,
• dan sajian lisan.
Di samping mengklasifikasikan, Allen juga mengaitkan antara jenis media pembelajaran dan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Allen melihat bahwa, media tertentu memiliki kelebihan untuk tujuan belajar tertentu tetapi lemah untuk tujuan belajar yang lain. Allen mengungkapkan enam tujuan belajar, antara lain:
• info faktual,
• pengenalan visual,
• prinsip dan konsep,
• prosedur,
• keterampilan,
• sikap.

Setiap jenis media tersebut memiliki perbedaan kemampuan untuk mencapai tujuan belajar; ada tinggi, sedang, dan rendah.
Ibrahim, media dikelompokkan berdasarkan ukuran serta kompleks tidaknya alat dan perlengkapannya atas lima kelompok, yaitu
• media tanpa proyeksi dua dimensi
• media tanpa proyeksi tiga dimensi
• media audio
• media proyeksi
• televisi, video, komputer.

Source: http://ikasep007.blogspot.com/2011/05/klasifikasi-media-pembelajaran-menerut.html